1. Definisi risywah
Risywah menurut bahasa berarti: “pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau lainnya untuk memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak dibenarkan atau untuk mendapatkan sesuatu yang sesuai dengan kehendaknya.” (al-Misbah al-Munir/al Fayumi, al-Muhalla/Ibnu Hazm). Atau “pemberian yang diberikan kepada seseorang agar mendapatkan kepentingan tertentu” (lisanul arab, dan mu’jam wasith).
Sedangkan menurut istilah risywah berarti: “pemberian yang bertujuan membatalkan yang benar atau untuk menguatkan dan memenangkan yang salah.” (At-Ta’rifat/aljurjani 148).
2. Unsur-unsur risywah
berdasarkan definisi di atas, bisa disimpulkan bahwa suatu tindakan dinamakan risywah jika memenuhi unsur-unsur berikut :
a. Adanya athiyyah (pemberian)
b. Ada niat Istimalah (menarik simpati orang lain)
c. Bertujuan :
1. Ibtholul haq (membatalkan yang haq)
2. Ihqaqul bathil (merealisasikan kebathilan)
3. al mahsubiyah bighoiri haq (mencari keberpihakan yang tidak dibenarkan)
4. al hushul alal manafi’ (mendapatkan kepentingan yang bukan menjadi haknya)
5. al hukmu lahu (memenangkan perkaranya)
3. Beberapa istilah yang serupa dengan risywah
Bila dilihat dari sisi esensi risywah yaitu pemberian (athiyyah), maka ada beberapa istilah dalam Islam yang memiliki keserupaan dengannya, di antaranya :
a. Hadiah yaitu pemberian yang diberikan kepada seseorang ala sabilil ikram (sebagai penghargaan).
Perbedaannya dengan risywah adalah : hadiah diberikan ala sabilil ikram, sedangkan risywah diberikan untuk mendapatkan yang diinginkannya.
b. Hibah yaitu pemberian yang diberikan kepada seseorang dengan tanpa mengharapkan imbalan dan tujuan tertentu. Perbedaannya dengan risywah adalah al wahib (pemberi) memberikan sesuatu tanpa tujuan dan kepentingan tertentu sedangkan ar-rasyi (penyuap) memberikan sesuatu karena ada tujuan dan kepentingan tertentu.
c. Shadaqah yaitu pemberian yang diberikan kepada seseorang karena mengharapkan ridha dan pahala dari Allah swt. Seperti zakat ataupun infaq sunnah. Perbedaannya dengan risywah adalah orang yang bersedekah memberikan sesuatu karena mengharapkan pahala dan ridha dari Allah semata, sedangkan ar-rasyi dalam pemberiannya mengharapkan kepentingan duniawi.
Dan bila dilihat dari sisi kedua yaitu menerima atau mengambil sesuatu yang bukan haknya, maka tindakan lain yang serupa dengan risywah, adalah korupsi. Korupsi adalah penyelewengan dan penggelapan harta negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Dalam istilah Islam, korupsi agak sulit dicari persamaannya. Dalam Islam, ada beberapa istilah yang terkait dengan mengambil harta tanpa hak, misalnya; ghasb, ikhtilas, sariqoh, hirobah, ghulul dll. Semuanya mengandung makna yang berbeda, tetapi semua istilah itu bermuara pada pengambilan harta dengan cara yang tidak benar. Dan biasanya Untuk memuluskan tindakan korupsi disertai dengan risywah. Oleh karena itu banyak orang yang mengidentikan korupsi dengan risywah.
Bahkan dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi pasal 5 ayat 1 terdapat kemiripan antara korupsi dan suap, dimana korupsi didefinisikan dengan :
« memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, dimana pegawai negeri atau penyelengara negara tersebut supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya »
4. Hukum risywah
Dari definisi di atas ada dua sisi yang saling terkait dalam masalah risywah; Ar-Rasyi (penyuap) dan Al-Murtasyi (penerima suap), yang dua-duanya sama-sama diharamkan dalam Islam menurut kesepakatan para ulama, bahkan perbuatan tersebut dikatagorikan dalam kelompok dosa besar. Sebagaimana yang telah diisyaratkan beberapa nash Al-Qur’an dan Sunnah Nabawiyah berikut ini :
a. Firman Allah ta’ala :
وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
”Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS Al Baqarah 188)
b. Firman Allah ta’ala :
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ
”Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram” (QS Al Maidah 42).
Imam al-Hasan dan Said bin Jubair menginterpretasikan ‘akkaaluna lissuhti’ dengan risywah. Jadi risywah (suap) identik dengan memakan barang yang diharamkan oleh Allah Swt
c. Rasulullah Saw. Bersabda :
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ
“ Rasulullah melaknat penyuap dan yang menerima suap”(HR Khamsah kecuali an-Nasa’i dan di shahihkan oleh at-Tirmidzi).
d. Nabi Muhammad saw. bersabda :
«كلّ لحم نبت بالسّحت فالنار أولى به» قالوا : يا رسول الله وما السحت؟ قال : «الرشوة في الحكم»
“Setiap daging yang tumbuh dari barang yang haram (as-suht) nerakalah yang paling layak untuknya. ”Mereka bertanya: “Ya Rasulullah, apa barang haram (as-suht) yang dimaksud?”, “Suap dalam perkara hukum” (Al-Qurthubi 1/ 1708)
Ayat dan hadits di atas menjelaskan secara tegas tentang diharamkannya mencari suap, menyuap dan menerima suap. Begitu juga menjadi mediator antara penyuap dan yang disuap.
5. ‘Risywah’ yang diperbolehkan
Pada prinsipnya risywah itu hukumnya haram karena termasuk memakan harta dengan cara yang tidak dibenarkan. Hanya saja mayoritas ulama membolehkan ‘Risywah’ (penyuapan) yang dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan haknya dan atau untuk mencegah kezhaliman orang lain. Dan dosanya tetap ditanggung oleh orang yang menerima suap (al-murtasyi)(Kasyful Qina’ 6/316, Nihayatul Muhtaj 8/243, al-Qurtubi 6/183, Ibnu Abidin 4/304, al-Muhalla 8/118, Matalib Ulin Nuha 6/479).
6. Pembagian Risywah
Imam Hanafi membagi risywah dalam 4 bagian :
a. Memberikan sesuatu untuk mendapatkan pangkat dan jabatan hukumnya adalah haram, baik bagi penyuap maupun bagi penerima.
b. Memberikan sesuatu kepada hakim agar bisa memenangkan perkara, hukumnya haram bagi penyuap dan yang disuap, walaupun keputusan tersebut benar, karena hal itu sudah menjadi tugas dan kewajibannya.
c. Memberikan sesuatu agar mendapatkan perlakuan yang sama dihadapan penguasa dengan tujuan mencegah kemudharatan dan meraih kemaslahatan, hukumnya haram bagi yang disuap saja. Al-Hasan mengomentari sabda Nabi yang berbunyi, ”Rasulullah melaknat orang yang menyuap dan yang disuap”, dengan berkata, ”jika ditujukan untuk membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Adapun jika untuk melindungi hartamu, tidak apa-apa” Yunus juga meriwayatkan bahwa al-Hasan berkata :”tidak apa-apa seseorang memberikan hartanya selama untuk melindungi kehormatannya”. Abu Laits As-Samarqandi berkata, ”Tidak apa-apa melindungi jiwa dan harta dengan suap.
d. Memberikan sesuatu kepada seseorang yang tidak bertugas di di pengadilan atau di instansi tertentu agar bisa menolongnya dalam mendapatkan haknya di pengadilan dan instansi tersebut, maka hukumnya halal bagi keduanya (pemberi dan penerima) sebagai upah atas tenaga dan potensi yang dikeluarkannya. Tapi Ibnu Mas’ud dan Masruq lebih cenderung bahwa pemberian tersebut juga termasuk suap yang dilarang, karena orang tersebut memang harus membantunya agar tidak terdzalimi. Firman Allah Swt yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum Karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah: 2)
(sumber: mausu’ah fiqhiyyah dan tafsih ayat ahkam lil Jash-shash)
7. Risywah masa kini
Saat ini ada bentuk risywah yang tampak lebih lembut, seperti pemberian yang diberikan kepada seseorang dengan tujuan investasi jasa, baik materi atau pelayanan, dll. Dan ada pula bentuk risywah yang lebih berat dari risywah itu sendiri, seperti pemberian yang diberikan kepada seseorang dari dana yang bukan miliknya, seperti dana APBD, dll.
8. Hukum pemberian dilihat dari sisi orang yang diberi
a. Penguasa
Ibnu Hubaib berkata, “Para ulama sepakat mengharamkan
memberikan hadiah kepada penguasa, hakim, pejabat dan pegawai penarik retribusi.” (al-Qurtubi 2/340). Nabi Muhammad saw memang menerima hadiah walaupun beliau adalah pejabat dan penguasa, tapi ini adalah bagian dari kekhususan beliau, karena beliau ma’shum terjaga dari dosa. Hal ini juga pernah dikatakan oleh Umar bin Abdul Aziz ketika beliau menolak hadiah yang diberikan kepadanya, beliau mengatakan : pemberian yang diberikan kepada Nabi termasuk hadiah sementara yang diberikan kepada kita adalah risywah, karena pemberian yang diberikan kepada beliau lantaran kenabiannya sementara pemberian yang diberikan kepada kita karena pangkat jabatan kita.
Hadits Rasulullah Saw, “Hadiah kepada pejabat adalah penyelewengan.” (HR Ahmad)
b. Pejabat pemerintah
hadiah yang diberikan kepada pejabat hukumnya sama dengan hadiah yang diberikan kepada penguasa, sebagaimana penjelasan yang disampaikan oleh Ibnu Hubaib, hal itu diperkuat dengan sabda Rasulullah dalam hadits Ibnul Utbiyah
عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِي اللَّه عَنْهم قَالَ اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنَ الْأَزْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ الْأُتْبِيَّةِ عَلَى الصَّدَقَةِ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي قَالَ فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ بَيْتِ أُمِّهِ فَيَنْظُرَ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ بِيَدِهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَةَ إِبْطَيْهِ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ ثَلَاثًا
Dari Abi Humaid As Sa’idi ra berkata Nabi saw memperkerjakan seseorang dari suku Azdy namanya Ibnu Alutbiyyah untuk mengurusi zakat, tatkala ia datang berkata [ kepada Rasululloh] ini untuk anda dan ini dihadiahkan untuk saya, bersabda beliau : kenapa dia tidak duduk di rumah ayahnya atau ibunya, lantas melihat apakah ia diberi hadiah atau tidak, Demi Dzat yang jiwakau di tanganNya tidaklah seseorang mengambilnya darinya sesuatupun kecuali ia datang pada hari kiamat dengan memikulnya di lehernya, kalau unta atau sapi atau kambing semua bersuara dengan suaranya kemuadia beliau mengangkat tangannya samapai kelihatan putih ketiaknya lantas bersabda : Ya Allah, tidaklah telah aku sampaikan? (HR Bukhari)
Dan sabda Nabi saw. :
" هدايا الأمراء غلول "
“Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah ghulul” (HR. Ahmad 5/424)
Ghulul, secara bahasa berarti khianat dan secara istilah mengambil sesuatu dari rampasan perang sebelum dibagi atau khianat pada harta rampasan perang. Berkata Nawawi, ghulul arti asalnya adalah khianat, tetapi penggunaannya secara dominan dipakai pada khianat dalam ghanimah. Dan yang biasa berkhianat atas harta itu adalah para penguasa dan pejabat.
c. Hakim
Pemberian yang diberikan kepada hakim adalah harta haram menurut kesepakatan para ulama, karena termasuk SUHT (yaitu yang haram yang tidak boleh di konsumsi maapun digunakan sebagai insvestasi).
d. Mufti
Haram bagi seorang mufti menerima suap untuk memberikan fatwa atau putusan hukum sesuai yang diinginkan mustafti (yang meminta fatwa). (ar-Raudhah 11/111, Asnaa al-Mutahalib 4/284) Ibnu Arfah berkata, “sebagian ulama mutaakhkhirin mengatakan : ‘hadiah yang diberikan kepada seorang mufti jika tidak berpengaruh kepada semangat mufti tersebut, baik ada hadiah atau tidak ada tetap semangat maka boleh diambil, dan jika mufti tersebut tidak semangat kecuali dengan hadiah maka tidak boleh diambilnya, ini jika tidak berkaitan dengan masalah yang dipertikaikan. Tapi sebaiknya seorang mufti tidak menerima hadiah dari mustafti, karena itu bisa menjadi risywah kata Ibnu Aisyun.
e. Guru/Dosen
Jika pemberian itu diberikan dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang karena ilmu dan keshalihannya maka boleh diterima, tapi jika diberikan agar memberikan tugas dan kewajiban yang sudah menjadi tanggung jawabnya maka sebaiknya tidak diambilnya.
f. Saksi
Haram bagi seorang saksi menerima pemberian (risywah) apabila ia menerimanya maka gugurlah keadilan yang menjadi syarat sah kesaksiannya. (al-Muhadzaab 2/330, al-Mughni 9/40 dan 160).
9. Hukum keputusan hakim yang disertai risywah.
Jika seorang hakim memutuskan perkara dengan disertai risywah, maka para ulama berbeda pendapat apakah putusan itu sah dan harus dilaksanakan atau putusan itu batal demi hukum :
a. Mayoritas ahli fiqh berpendapat bahwa hukum yang ditetapkan dengan risywah batal dan tidak boleh dilaksanakan, walaupun keputusan tersebut benar. ( al Bahrurraiq 6/284, al Mughni 9/40)
b. Al Khashaf dan Ath-Thohawi berpendapat bahwa keputusan hakim dianggap sah jika bertepatan dengan syari’ah, dan risywah tidak bisa membatalkan hukum yang benar yang telah ditetapkan (Durarul hukkam 4/537)
10. Sanksi bagi pelaku risywah
Risywah adalah sebuah pelanggaran yang jelas pelakunya harus dikenai sanksi, baik ar-rasyi sebagai pemberi maupun al-murtasyi sebagai penerima pemberian.
Dan dikarenakan tidak adanya nash khusus tentang sanksi yang harus diberikan baik bentuk maupun ukurannya, maka sanksi risywah berbentuk ta’zir yang bentuk dan macamnya diserahkan kepada hakim.
11. Cara pengembalian uang hasil risywah
Risywah hukumnya tetap haram walaupun menggunakan istilah hadiah, hibah atau tanda terima kasih dll. Sabagaimana yang telah dijelaskan pada hadits Ibnul Lutbiyah di atas.
Oleh karena itu setiap perolehan apa saja di luar gaji dan dana resmi/legal yang terkait dengan jabatan/pekerjaan merupakan harta “ghulul” (korupsi) dan hukumnya tidak halal. Meskipun hal itu atas nama ‘hadiah’ dan ‘tanda terimakasih’ akan tetapi dalam konteks dan perspektif syari’at Islam bukan merupakan hadiah tetapi dikategorikan sebagai ‘risywah’ (suap) atau ‘syibhu risywah’ (semi suap) atau ‘risywah masturoh’ (suap terselubung), ‘risywah musytabihah’ (suap yang tidak jelas) ataupun ‘ghulul’ dsb.
Segala sesuatu yang dihasilkan dengan cara yang tidak halal seperti risywah maka harus dikembalikan kepada pemiliknya jika pemiliknya diketahui, dan kepada ahli warisnya jika pemiliknya sudah meninggal, dan jika pemiliknya tidak diketahui maka harus diserahkan ke baitulmal sebagaimana penjelasan yang terdapat dalam hadits Ibnul lutbiah, atau digunakan untuk kepentingan umat Islam. Sebagaiman yang dikatakan oleh syekhul Islam Ibnu Taimiyah terkait dengan orang yang bertaubat setelah mengambil harta orang lain secara tidak benar: ”jika pemiliknya diketahui maka harus dikembalikan kepada pemiliknya, dan jika tidak diketahui maka diserahkan untuk kepentingan umat Islam.” (Kasysyaful Qina’ 6/317)
KH. Dr. Surahman Hidayat, MA